Tato Orang Mentawai

Tato orang Mentawai atau Titi, dalam masyarakat Mentawai bukan sekadar rajah di kulit mereka. Ia mengandung makna dan menjadi ciri khas masyakat setempat. Ada pula pembuat khusus, ia disebut sipatiti.

Tato Orang Mentawai

Di sejumlah desa di Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat, seperti Desa Madobag atau Ugai, masyarakat asli setempat masih melakukan rajah pada kulit mereka. Jika kita berkunjung ke uma, ini sebutan untuk rumah tradisional suku Mentawai, biasanya saat bertemu dengan yang empunya uma, kita akan melihat torehan garis lurus, lengkung, tebal, halus, hingga setiap titik berwarna kehitaman di sekujur kulit tubuhnya. Itulah yang disebut titi, tato khas mereka.

Bagi mereka yang tak memahami titi, mungkin goresan itu hanya sebagai jenis motif rajah saja. Tapi tunggu dulu, ternyata setiap bentuk goresan itu ada maknanya. Termasuk posisi mereka dalam masyarakat tersebut.

Dua orang laku-laku dengan usia yang sama, misalnya, titi-nya bisa berbeda. Bahkan kadang buat mata awam, bisa saja rajah di kedua pria tersebut terlihat sama. Tapi ternyata ada bagian yang berbeda. Misalnya, yang satu tidak memiliki dua simbol di bahu kanan-kirinya. Atau, seorang pria muda Mentawai, bisa saja sama sekali tak punya titi di kulit tubuhnya.

Seni tato Mentawai memang memiliki daya tarik tersendiri. Konon, ini merupakan salah satu seni rajah tubuh tertua di dunia, bahkan ada yang menyebut ia lebih tua dari seni tato di Mesir. Sayangnya, titi perlahan memudar. Masyarakat Mentawai masa kini tak lagi suka memaparkan identitas diri mereka melalui medium sekujur kulitnya. Terutama di kalangan generasi mudanya. Padahal, dulunya itu adalah simbol jati diri mereka dari waktu ke waktu.

Selain harus melalui ritual, pembuatan tato bagi suku Mentawai harus dilakukan bertahap. Tahap pertama dilakukan saat seseorang berusia 11-12 tahun atau masa akil balig. Rajahnya pun hanya boleh dilakukan di bagian pangkal lengan. Tahap kedua, kala orang tersebut berusia 18-19 tahun dan rajahan dilanjutkan ke bagian paha. Tahap ketiga, di masa dewasa di bagian tubuh lain.

Setiap motif titi, yang dirajahkan pada kulit tubuh, memiliki arti. Masing-masing merepresentasikan simbol-simbol penghormatan orang-orang suku Mentawai pada roh dan pada keyakinannya. Secara umum, dikenal tujuh macam motif yang berlaku bagi laki-laki dan tiga motif bagi perempuan, yaitu Sarepak Abak, Durukat, Sikaloinan, Gagai, Boug, Saliou, dan Soroi.

Tato Orang Mentawai Proses Mentato
Proses membuat titi di masyarakat Mentawai.

Sarepak abak, biasanya ditorehkan di punggung, melambangkan keseimbangan kehidupan di alam. Ini merupakan representasi dari cadik (penyeimbang) pada pompon (perahu) yang menjadi alat transportasi sehari-hari.

Durukat, ditorehkan di bagian dada, simbol jati diri suku, menunjukkan batas wilayah kesukuan. Umumnya memanfaatkan garis-garis halus yang kemudian diisi titik-titik dan motif lokpok (bentuknya menyerupai daun). Sikaloinan, ditorehkan pada bagian pangkal lengan hingga siku, simbol jati diri suku, merepresentasikan paipai sikaloinan (ekor buaya).

Gagai, ditorehkan pada lengan laki-laki/perempuan, simbol kepiawaian menangkap ikan. Motif Boug, ditorehkan pada bagian paha, simbol jati diri suku, penggambarannya memanfaatkan bentuk garis-garis lengkung. Saliou, ditorehkan pada betis hingga pergelangan kaki dengan ragam rias lengkung garis yang indah.

Sementara itu, Soroi, khusus kaum pria, simbol jati diri kesukuan, biasanya ditorehkan pada bagian pusar, merepresentasikan keindahan rumbai-rumbai bulu ekor ayam.

Satu catatan penting, terlihat sekali bahwa seorang sipatiti tidak boleh mengabaikan faktor simetris dalam pelaksanaan tugasnya. Pengaturan jarak dari setiap gores garis hingga titik diperhitungkan dengan penuh presisi dalam hitungan satu jari, dua jari, tiga jari, empat jari, dan seterusnya.

Untuk membuat titi, tidak bisa dilakukan sembarang orang. Untuk melakukannya, suku Mentawai mengenal keberadaan sipatiti. Meski tidak diangkat secara adat, ia adalah seorang laki-laki dan tidak boleh perempuan yang dipercaya sebagai sang pembuat tato. Ia seorang yang memiliki keahlian merajah sekaligus memahami simbol-simbol yang lazim digunakan termasuk maknanya. Setiap pertemuan, jasa seorang sipatiti akan dibayar dengan seekor babi atau beberapa ekor ayam.

Proses pembuatan titi tidak sesederhana. Sebelumnya, harus digelar acara adat Punen Kepa untuk menyingkirkan pengaruh jahat dan ancaman terjadinya malapetaka di kampung yang warga yang akan membuat titi. Pada puncak punen, biasanya dilakukan perjalanan ke Siberut, yang diyakini sebagai asal orang Mentawai. Perjalanan laut yang dikenal dengan istilah bulepak itu dilakukan beramai-ramai dalam satu sampan bermuatan cukup besar. Di daerah itu, mereka harus mengambil manik-manik khas Siberut sebagai syarat.

Apabila semua berhasil membawa manik-manik khas Siberut kembali dengan selamat, warga bisa memulai menjalani upacara inisiasi pembuatan titi, yang dikenal dengan nama Punen Enegat. Upacara tersebut dipimpin oleh sikerei atau seorang dukun Mentawai dan dilakukan di putukurat, yang merupakan tempat khusus berlangsungnya proses pembuatan titi.

Titi adalah sebuah kearifan lokal, ia tak harus menjadi milik semua orang, namun tentu sayang jika ini akan terus memudar.

agendaIndonesia

*****

Yuk bagikan...

Rekomendasi