Wihara Gunung Timur Medan merupakan kelenteng Tao atau Tionghoa yang usianya hampir 100 tahun. Tempat peribadatan ini bermula dari rumah berukuran petak, kini kelenteng ini berada di atas lahan satu hektare.

Wihara Gunung Timur Medan

Seorang teman menyarankan saya mampir ke Wihara Gunung Timur, di Jalan Hang Tuah 16, Medan.  “Kalau sudah ke bangunan tua dan bersejarah lain, jangan lewatkan kelenteng ini,” ujarnya.

Kelenteng Tao tersebut merupakan kelenteng yang terbesar di Medan, bahkan konon di seluruh Sumatera, dan sudah berdiri sekitar 90 tahunan. Wihara dengan nama Mandarin Tong Yuk Kuang ini hadir dengan arsitetural bangunan yang khas. Bangunannya yang luas di atas lahan satu hektare dapat menampung banyak pengunjung. Tidak saja bagi meeka yang hendak beribadah, namun juga yang memang tertarik untuk mengetahui kisah dan sejarah tempat ibadah ini.

Di bagian atas wihara, terdapat patung naga yang saling berhadapan, dan menjadi corak tradisional Tionghoa yang autentik. Selain itu, terdapat beragam arca yang melambangkan agama Buddha di wihara ini. Seperti altar Buddha, Buddha Maitreya, dan Dewi Kwan Im. Sedangkan di sisi kanan kelenteng, terdapat altar Toa Pek Kong (Da Bo Gong) dan Thay Suei. Ada pula arca Thien Kou (Anjing Langit) dan Pek Ho Kong (Harimau Putih) yang mengawal Tho Te Kong (Dewa Tanah).

Dengan latar belakang seperti itu, siang itu saya pun menyempatkan singgah ke Wihara Gunung Timur. Semula yang terlihat hanya bangunan abu-abu berbentuk kotak yang kaku, saya pun terheran-heran dan mencari wujud kelentengnya. Di bagian belakang ada sebuah bangunan merah yang tertangkap mata.

Wihara itu menghadap ke Sungai Babura, sehingga dinilai mempunyai fengsui yang baik. Sungai tersebut, menurut kepercayaan para penganut taoisme, memberikan kekuatan positif dalam komposisi alam semesta. Siang yang sepi dan hanya ada para pengurus kelenteng di bagian belakang. Saya berdiri di halaman yang luas dan mencoba mencermati tempat ibadah ini.

Dua singa hitam dan dua singa putih yang berada di bagian depan bangunan menjadi pasukan penjaga. Lampion merah dengan tali kuning berbaris bergantung di bagian depan atap. Di puncak atap, berhadapan dua naga panjang yang dipulas warna hijau-merah. Pilar-pilar besar yang beberapa di antaranya berhiaskan kepala naga menjadikan bangunan tersebut benar-benar unik.  Ada pula patung Dewa Kang Jian Jun yang berdiri tegak di sisi kanan pintu masuk.

Setelah sepi beberapa saat, akhirnya datang juga orang beribadah. Aroma dupa semakin kencang tercium. Tak jauh dari patung singa, yang merupakan penangkal hal negatif, ditempatkan juga dua wadah model tempayan untuk menaruh hio atau kemenyan. Saya pun melangkah lebih dekat dan mengintip bagian dalam. Nuansa merah terasa kian kental. Selain itu, ada warna kuning keemasan pada beberapa bagian—dua warna itu merupakan simbol keberuntungan.

Patung menghiasi beberapa titik kelenteng. Di antaranya patung Dewa Jing Shen Ru Shen Zai dan Dewa Zhu Sen Da Di. Altarnya tak hanya satu. Sebab, ada juga altar Buddha Sidarta Gautama yang didampingi patung Buddha Meitreya dan Dewi Kwan Im. Kemudian, ada juga altar yang diisi beberapa dewa dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa, yakni Toa Pek Kong, Thay Suei, dan patung lainnya. Spanduk kecil yang berisikan huruf-huruf Cina digantung di beberapa titik. Ternyata rangkaian huruf itu menyebutkan nama-nama dewa. Altar pun berhiaskan dupa dan lilin. Ada pula sebuah beduk yang biasanya digunakan dalam atraksi barongsai yang digelar pada perayaan hari-hari tertentu.

Wihara Gunung Timur Medan atau Wihara Tao merupakan kelenteng terbesar di Medan bahkan di pulau Sumatera.
Wihara Gunung Timur Medan di bagian dalamnya. Foto: Dhemas/Dok. TL

Bangunan kotak yang saya temui di sebelahnya ternyata merupakan tempat  penyimpanan logistik wihara. Sedangkan saya bertemu dengan beberapa petugas di bagian belakang yang  menyimpan perlengkapan sembahyang. Seorang petugas menyebutkan yang sembahyang di wihara ini tak hanya penganut Tao, melainkan juga agama Tri Dharma, yakni campuran agama Buddha, Khong Hu Chu, dan Tao.

Sang penjaga menyebutkan bahwa wihara ramai saat ada perayaan. Namun setiap hari pasti ada yang datang untuk sembahyang dan kelompok turis yang datang sekadar untuk berkunjung. Wihara didirikan bersama-sama sekelompok etnis Tionghoa. Pembangunan tidak terhenti pada satu masa, tapi berlanjut terus hingga kelenteng yang hanya seukuran rumah petak ini sekarang memiliki halaman luas dan mempunyai bangunan lainnya. Luas totalnya sekarang mencapai satu hektare.

agendaIndonesia/Rita N./Dhemas RA/TL

*****

Yuk bagikan...

Rekomendasi